Saturday, December 10, 2016

,

Desa Lausimomo Karo

Konbanwa mina san
Nah kali ini mimin akan mengesahre pengalaman pengabdian salah satu relawan GSM batch 2 selama 2 .Beliau sering disapa dengan Adi yang sedang kuliah di USU.
  Adi sebagai pengurus dibagian Publikasi dan Dokumentasi.  Yap langsung saja ya guys




First Time
Saat itu tepatnya. Rabu 8 Juni 2016 kami pergi ke desa Lau Simomo, Tanah Karo dengan menumpang mobil Kak Faiz yang sekaligus beliau yang memperkenalkan kami dengan orang tua asuh kami disana. Sepanjang perjalanan tampak keindahan deretan bukit hijau yang seolah-olah menyapa kami sepanjang perjalanan. Tak mau kalah gunung Sinabung turut menyapa kami dengan keindahannya yang khas. Tampak dari kejauhan, warnanya coklat dengan asap yang keluar dari ujungnya.


Sesampainya di desa Lau Simomo, kami berkenalan dengan orang tua asuh. Sambutan mereka sangat ramah terhadap kami. Kami berkenalan dan berbicara mengenai kami untuk perkenalan. Mereka juga berbicara tentang desa Lau Simomo,mengenai sejarah desa hingga karakter umum penduduknya. Perkenalan yang cukup manis. Dengan waktu yang cukup panjang dan diskusi ringan, akhirnya diputuskan kelompok kami dipecah menjadi dua untuk tempat tinggal yaitu di rumah biring dan dirumah mami. Rumah mereka bersebelahan dan posisinya juga cukup dekat dengan SD yang menjadi target kami mengajar. Kamis 9 Juni 2016, adalah hari pertama kami sosialisasi ke SD. Setelah audiensi dengan kepala sekolah dan para guru. Untuk hari pertama hingga hari sabtu saya dan teman-teman lainnya cukup mengajar disore hari dirumah mami yang adalah orang tua asuh kami. Kami belum dijinkan mengajar pagi karena karena kebetulan minggu itu adalah minggu ujian akhir semester. Kami dijinkan mengajar pagi hari seninnya.


Belajar sore adalah belajar di sore hari setelah sekolah. Saat itu adik-adik tersebut bisa belajar sekaligus bermain. Saya bisa membantu adik-adik yang kesulitan dengan materi-materi sekolah yang belum dikuasai mereka. Saya mengajari mereka dengan sabar dan rendah hati. Saya tahu yang saya hadapi adalah anak-anak. Rasa ingin tahu mereka sangat tinggi dan terkadang sangat rewel. Ada juga beberapa anak yang penurut. Itu bisa dimaklumi karena karakter setiap orang pasti berbeda.

Saat adik-adik tersebut merasa bosan, kami akan berkoordinasi dengan teman-teman relawan lainnya untuk membuat permainan bersama. Terkadang main kejar-kejaran, main kucing dan tikus dan permainan yang biasa dimainkan anak-anak seumuran mereka.


Anak Kalem VS Anak Rewel
Dalam beberapa kali mengajar sore, setelah saya perhatikan pasti ada dua tipe anak seperti ini. Anak kalem adalah tipe yang pasti menjadi anak kesukaan saya karena minimal dia mau mendengarkan dan biasanya juga anak yang rajin belajar. Lha anak rewel? Sudah pasti tipe seperti ini anaknya tukang ribut dan suka mengganggu si anak kalem yang seriusan.


Suatu waktu saya mengajar sore dan menemukan kedua tipe ini sekaligus. Kebetulan mata pelajaran matematika yang kami diskusikan saat itu adalah matematika. Tau kan guys kalo matematika itu ilmu pusing. Setelah belajar matematika, kamu pasti pusing keliling-keliling. Hehe.


Saat itu saya mengajari mereka tentang penjumlahan. Si adik kalem ini bertanya kepada saya tentang pr matematika yang belum bisa di kerjakannya begitu juga si adik rewel. Untuk adik kalem, saya ajari dan akhirnya dia bisa mengejakannya sendiri. Untuk adik rewel? Waduh. Mengajarinya itu ternyata lebih susah lho dari pada pr matematikanya. Adik ini perlu diajari berulang-ulang dan itupun dia belum tentu paham. Bagaimana mau paham? Bila diajari selalu bicara. Bang abang sekolah dimana? Abang tinggal dimana? Abang masih jomblo bg? Stop! Untuk pertanyaan terakhir aku jawab “iya dek” Hehe. walaupun tipe adik rewel ini sulit diarahkan namun kelebihan tipe anak rewel adalah mereka selalu periang dan selalu menghadirkan canda tawa yang bisa memecahkan suasana yang kaku.


Harus Pinter Baca Dek
          Setiap orang unik. Setiap orang pasti memiliki perbedaan yang khas satu dengan lainnya. Begitu juga dengan cara belajarnya. Beberapa orang bisa belajar secara massal dengan hanya seorang guru, yang lainnya bisa belajar secara personal. Hal ini yang saya temukan disaat saya mengajar sore. Saya mendapat kuota mengajar dua orang anak kelas III SD yang belum bisa membaca. Mungkin kita petama kali timbul dibenak kita, kedua anak tersebut tentu ber-IQ rendah atau dibawah rata-rata. Saat saya mengajari mereka, saya mendapati pemikiran seperti itu salah.

          Pertama kali saya cek mereka belum bisanya dimana. Ternyata mereka masih lancar mengeja. Lalu saya ajari mereka membaca pelan-pelan. Saat itu saya membawa kutipan-kutipan cerpen dari majalah koleksi saya. Lalu berikan kepada mereka masing-masing satu. Lalu saya ajari mereka membaca. Mula-mula lambat namun akhirnya mereka bisa membaca normal.

          Mereka berdua sebenarnya daya tangkapnya sama dengan anak-anak pada umumnya namun mereka butuh metode yang lebih personal. Adik-adik tersebut setelah saya ajari dengan metode personal, mereka lebih tertarik apalagi setelah saya motivasi bisa menyelesaikan membaca satu paragraph dengan lancar.
“ Dek, kalau kalian bisa membaca setengah dari cerpen, cerpen itu untuk kalian”, pinta saya. Mereka antusias dan bisa membaca lancar. Akhirnya mereka saya berikan dua kutipan cerpen saya. “Harus rajin-rajin dibaca ya dek cerpennya supaya semakin lancar”, nasihat saya.

Kelas Satu Squad
Cerita ini terjadi saat kami sudah diberi kesempatan mengajar pagi. Saat itu saya mendapat jatah mengajar adik-adik kelas satu. Waduh bisa saya bayangkan betapa rusuhnya kelas yang akan saya ajari saya.
          Ternyata hal itu menjadi kenyataan. Pertama kali masuk ke ruang kelas, mereka lari sana sini bagaikan tentara berperang. “Adek-adek, duduk yok. Biar kita nyanyi-nyanyi,” pinta saya. “Nyanyi apa bang, ” terdengar suara sahut-sahutan.
“Ayok kita nyanyi balonku ada lima”
Lalu kami bernyanyi bersama-sama. Ternyata cara tersebut efektif untuk membangkitkan minat anak-anak di kelas satu. Lalu saya ajak lagi bernyanyi beberapa lagu anak-anak lainnya sebagai pengantar. Mereka senangnya bukan main. Kemudian saya ajarkan bahasa Inggris untuk yang dasar seperti alfabet bahasa Inggris dan angka-angka. Mereka sebenarnya antusias namun agak rewel. Ya saya maklum rewelnya anak-anak. Ada saja yang bertanya pertanyaan yang tidak penting. Namun yang sedikit membuat saya pusing ketika ada beberapa anak yang permisi ke toilet. Tidak masalah yang keluar, satu atau dua orang namun mereka keluar hingga tujuh orang. Saya tentu tidak beri ijin namun mereka langsung keluar sambil tertawa-tawa. Saya merasa lucu juga akhirnya. “Adik-adik ini ingin saya ospek rupanya,”pikir saya.



Tersesat
Suatu sore kami selesai mengajar adik-adik untuk belajar sore. Saat itu kami sepakat selesai mengajar akan pergi ke jambur untuk sosialisasi dengan masyarakat yang saat itu sedang mengadakan pertemuan. Kami putuskan untuk mempercepat waktu mereka untuk pulang karena kami ingin pergi juga ke jambur. Saat itu kondisinya mendung. Kami putuskan kami pergi ke jambur sekalian mengantar adik-adik pulang.

Ditengah perjalanan ada seorang adik kecil kelas satu. Saya tahu pasti karena saya telah masuk kelasnya.  Saat itu saya merasa kasihan karena dia harus pulang sendiri ditengah mendung. Saat saya tanya,”Dek rumahmu dimana?” Dia menjawab rumahnya di atas. Saya bingung juga karena dia memilih rute yang berbeda sendiri lewat sebuah jalan setapak sempit disamping rumah sakit. Saat itu hujan sudah mulai turun walau rintik-rintik. Kemudian saya putuskan untuk menemani adik itu sementara teman-teman relawan lainnya mengantar adik-adik yang lain yang rumah mereka searah jambur. Saya berjanji akan menyusul ke sana.
Lalu saya dan adik itu pergi melalui jalan setapak di samping rumah sakit tersebut. Adik itu yang berjalan di depan. Kami berjalan melewati perkebunan jeruk dan naik turun bukit ditengah derasnya hujan. Medan perjalannya sangat licin karena hujan telah membasahi bukit yang kami lewati. Terdengar juga Guntur saling  sahut menyahut mengiringi langkah kami. Saya merasa kecut juga. “Bagaimana bila nanti saya disambar petir?” pikir hati kecil saya. Sekitar dua puluh menit akhirnya kami sampai juga di rumah si adik ini. Ternyata rumahnya di atas bukit. Saya senang akhirnya dia bisa pulang. Saya menolak untuk masuk sekedar minum karena saya mau menyusul teman-teman relawan yang lain yang sudah di jambur.

          Lalu saya pulang sendiri. Beberapa jalan saya masih ingat, namun kemudia saya dihadapkan suatu jalan berbukit penuh dengan pepohonan. Akhirnya saya lupa jalan pulang menuju samping rumah sakit itu. Saya berhenti sebentar untuk berfikir. Saat itu masih hujan dan petirnya masih menggelagar. Betapa mencekamnya suasana saat itu ketika saya sendiri diperbukitan yang belum pernah saya jalani. Saya putuskan untuk mengikuti jalan setapak yang saya tidak tahu arahnya. Lalu sampailah saya di sebuah pemukiman yang kemudian baru saya tahu bahwa itu adalah kawasan pemukiman penderita lepra di desa Lau Simomo. Seseorang mendapati saya sedang berlindung kedinginan di depan rumahnya. Dia bertanya, “Adik orang mana?” Saya jawab bahwa saya mahasiswa dari Medan yang mengajar di desa Lau Simomo. Beliau mempersilakan saya masuk dan memeberikan saya suguhan berupa teh manis hangat dan gorengan panas. Ternyata beliau itu adalah orangtua adik yang saya ajari di SD Lau Simomo.

Didalam rumah kami bercerita mengenai asal-usul desa Lau Simomo. Saya sudah mengetahui sekilas tentang desa Lau Simomo dari orang tua asuh saya, Bp. Ginting. Beliau menceritakan lebih lengkap karena beliau sendiri adalah pasien disana. Beliau sangat ramah. Ketika saya mau bersalaman pulang, saya mengetahui ternyata beliau penderita lepra (jari-jari beliau bengkok). Pengalaman ini sangat berkesan bagi saya karena saya baru pertama kali bersalaman dengan penderita Lepra. Sedikit takut juga namun saya teringat perkataan mami saya bahwa pasien Lepra di desa tersebut sudah mendapat semacam “obat” agar tidak menular pada orang lain. Setelah berbicara panjang lebar saya akhirnya minta ijin pulang dan diantar beliau. Sungguh pengalaman yang berkesan tak akan saya lupakan.










0 comments:

Post a Comment